Sejarah Propinsi Riau
Dengan di lantiknya Letkol Kaharuddin Nasution sebagai Gubernur, maka
struktur Pemerintahan Daerah Tingkat I Riau dengan sendirinya mengalami
pula perubahan. Badan Penasehat Gubernur Kepala Daerah dibubarkan dan
pelaksanaan pemindahan ibukota dimulai. Rombongan pemindahan pertama
dari Tanjungpinang ke Pekanbaru dimulai pada awal Januari 1960 dan mulai
saat itu resmilah Pekanbaru menjadi ibukota.
Aparatur
pemerintahan daerah, sesuai dengan Penpres No.6 tahun 1959 mulai
dilengkapi dan sebagai langkah pertama dengan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri tanggal 14 April 1960 No. PD6/2/12-10 telah dilantik Badan
Pemerintah Harian bertempat di gedung Pei Ing Pekanbaru dengan
anggota-anggota terdiri dari :
1. Wan Ghalib
2. Soeman Hs
3. A. Muin Sadjoko
Anggota-anggota
Badan Pemerintahan Harian tersebut merupakan pembantu-pembantu Gubernur
Kepala Daerah untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Di dalam
rapat Gubernur, Badan Pemerintah Harian dan Staff Residen Mr. Sis
Tjakraningrat, disusunlah program kerje Pemerintah Daerah, yang dititik
beratkan pada :
1. Pemulihan perhubungan lalu lintas untuk kemakmuran rakyat.
2. Menggali sumber-sumber penghasilan daerah
3. Menyempurnakan aparatur.
Program
tersebut dilaksanakan secara konsekwen sehingga dalam waktu singkat
jalan raya antara Pekanbaru sampai batas Sumatera Barat siap dikerjakan.
Jalan tersebut merupakan kebanggaan Provinsi Riau. Pemasukan keuangan
daerah mulai kelihatan nyata, sehingga Kas Daerah yang pada mulanya
kosong sama sekali, mulai berisi. Anggaran Belanja yang diperbuat
kemudian tidak lagi merupakan anggaran khayalan tetapi betul-betul dapat
dipenuhi dengan sumber-sumber penghasilan sendiri sebagai suatu daerah
otonom.
Disamping itu atas prakarsa Gubernur Kaharuddin Nasution
diusahakan pula pengumpulan dana disamping keuangan daerah yang sifatnya
inkonvensional. Dana ini diperdapat dari sumber-sumber di luar anggaran
daerah, dan hasilnya dimanfaatkan untuk pembangunan, diantaranya
pembangunan pelabuhan baru beserta gudangnya, gedung pertemuan umum
(Gedung Trikora), gedung Universitas Riau, Wisma Riau Mesjid Agung,
Asrama Pelajar Riau untuk Putera dan Putri di Yogyakarta dan lain-lain.
Untuk
penyempurnaan pemerintahan daerah, disusunlah DPRD-GR. Untuk itu
ditugaskan anggota BPH Wan Ghalib dengan dibantu Bupati Dt. Mangkuto
Ameh untuk mengadakan hearing dengan partai-partai politik dan
organisasi-organisasi massa dalam menyusun komposisi. Sesuai dengan itu
diajukan sebanyak 38 calon anggota yang disampaikan kepada menteri dalam
negeri Ipik Gandamana.
Usaha untuk menyempurnakan Pemerintah
Daerah terus ditingkatkan, disamping Gubernur Kepala Daerah, pada
tanggal 25 April 1962 diangkat seorang Wakil Gubernur kepala Daerah,
yaitu Dt. Wan Abdurrahman yang semula menjabat Walikota Pekanbaru,
jabatan Walikota dipegang oleh Tengku Bay.
Masuknya unsur-unsur
Nasional dan Komunis dalam tubuh BPH disebabkan saat itu sudah merupakan
ketentuan yang tidak tertulis, bahwa semua aparat pemerintahan harus
berintikan “NASAKOM”. Kemudian Penpres No. 6 tahun 1959 diganti dan
disempurnakan dengan Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Nasakomisasi diterapkan tidak melalui ketentuan
perundang-undangan tetapi tekanan-tekanan dari atas.
Sejalan
dengan itu dibentuk pula pula apa yang dinamakan Front Nasional Daerah
Tingkat I Riau, yang pimpinan hariannya terdiri dari unsur Nasakom.
Front Nasional ini mengkoordinir semua potensi parta-partai politik dan
organisasi-organisasi massa. Dengan sendirinya di dalam Front Nasional
ini bertarung ideologi yang bertentangan, yang menurut cita-cita
haruslah dipersatukan.
Kedudukan pimpinan harian Front Nasional
ini merupakan kedudukan penting, karena mereka menguasai massa rakyat.
Karena itu pulalah Pimpinanan Harian tersebut didudukkan di samping
Gubernur Kepala Daerah, yang merupakan anggota Panca Tunggal. Atas dasar
Nasakomisasi ini, maka golongan komunis telah dapat merebut posisi yang
kuat. Ditambah pula dengan tekanan-tekanan pihak yang berkuasa, maka
peranan komunis dalam Front Nasional tersebut sangat menonjol.
Disamping
penyempurnaan aparatur pemerintahan, oleh Pemerintah Daerah dirasakan
pula bahwa luasnya daerah-daerah kabupaten yang ada dan batas-batasnya
kurang sempurna, sehingga sering menimbulkan stagnasi dalam kelancaran
jalannya roda pemerintahan. Ditambah lagi adanya hasrat rakyat dari
beberapa daerah seperti Indragiri Hilir, Rokan, Bagan Siapi-api dan
lain-lain yang menginginkan supaya daerah-daerah tersebut dijadikan
Kabupaten. Untuk itu maka oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada
tanggal 15 Desember 1962 dengan SK. No.615 tahun 1962 di bentuklah suatu
panitia.
Hasil kerja dari pantia tersebut menjadikan Provinsi Riau 5 (lima) buah daerah tingkat II dan satu buah Kotamadya.
* Kotamadya Pekanbaru : Walikota KDH Kotamadya Tengku Bay.
* Kabupaten Kampar : Bupati KDH R. Subrantas
* Kabupaten Indragiri Hulu : Bupati KDH. H. Masnoer
* Kabupaten Indragiri Hilir : Bupati KDH Drs. Baharuddin Yusuf
* Kabupaten Kepulauan Riau : Bupati KDH Adnan Kasim
* Kabupaten Bengkalis : Bupati KDH H. Zalik Aris
Sewaktu
pemerintah pusat memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan
Singapura, serta ditingkatkan dengan konfrontasi fisik dengan keputusan
Presiden Republik Indonesia tahun 1963, maka yang paling dahulu
menampung konsekwensi-konsekwensinya adalah daerah Riau. Daerah ini yang
berbatasan langsung dengan kedua negara tetangga tersebut dan orientasi
ekonominya sejak berabad-abad tergantung dari Malaysia dan Singapura
sekaligus menjadi kacau.
Untuk menghadapi keadaan yang sangat
mengacaukan kehidupan rakyat tersebut, dalam rapat kilat yang diadakan
Gubernur beserta anggota-anggota BPH, Catur Tunggal dan
Instansi-instansi yang bertanggung jawab, telah dibahas situasi yang
gawat tersebut serta dicarikan jalan keluar untuk bisa mengatasi
keadaan. Kepada salah seorang anggota BPH ditugaskan untuk menyusun
suatu konsep program yang meliputi semua bidang kecuali bidang
pertanahan, dengan diberi waktu satu malam. Dalam rapat yang diadakan
besok paginya konsep yang telah disusun tersebut diterima secara mutatis
mutandis.
Tetapi nyatanya pemeritah pusat waktu itu tidak dapat
melaksanakan program tersebut sebagaimana yang diharapkan terutama
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi langsung oleh rakyat, seperti pengiriman bahan pokok untuk
daerah-daerah Kepulauan dan penyaluran hasil produksi rakyat.
Dalam
bidang moneter diambil pula tindakan-tindakan drastis dengan
menghapuskan berlakunya mata uang dollar Singapura/Malaysia di Kepulauan
Riau, serta menggantinya dengan KRRP (Rupiah Kepualaun Riau) yang
berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1963. Untuk melaksanakan pengrupiahan
Kepualauan Riau tersebut, diberikan tugas kepada Team Task Force II
dibawah pimpinan Mr. Djuana dari Bank Indonesia.
Dengan
perubahan-perubahan pola ekonomi secara mendadak dan menyeluruh dengan
sendirinya terjadi stagnasi. Perekonomian jadi tidak menentu. Arus
barang terhenti, baik keluar maupun masuk. Daerah Riau yang pada
dasarnya adalah penghasil barang ekspor, akhirnya menjadi kekeringan.
Barang-barang produksi rakyat, terutama karet menjadi menumpuk dan tak
dapat di alirkan, barang-barang kebutuhan rakyat tidak masuk kecuali
yang didatangkan oleh pemerintah sendiri yang tebatas hanya di kota-kota
pelabuhan. Kebijaksanaan yang diambil pemerintah kemudian tidak
meredakan keadaan, malahan menambah kesengsarahan rakyat, terutama di
bidang ekonomi dan keamanan.
Untuk menanggulangi bidang ekonomi,
di pusat dibentuk Komando Tertinggi Urusan Ekonomi (Kotoe) yang dipimpin
oleh Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio. Di Riau di tunjuk Gubernur
Kaharuddin Nasution sebagai pembantu Kotoe tersebut. Oleh Kotoe di
tunjuk PT. Karkam dengan hak monopoli untuk menampung seluruh karet
rakyat dan mengekspor keluar negeri. Kondisi ini justru semakin
memperburuk perekonomian rakyat.
Pada tahun–tahun terakhir masa
jabatan Gubernur Kaharuddin Nasution terjadi ketegangan dengan
pemuka-pemuka masyarakat Riau. Dari segi politis, ketegangan dengan
tokoh-tokoh masyarakat Riau telah berjalan beberapa tahun yang
berpangkal pada politik kepegawaian. Pemuka-pemuka daerah berpendapat
bahwa Gubernur Kaharuddin Nasution terlalu banyak memberikan
kedudukan-kedudukan kunci kepada orang-orang yang dianggap tidak
mempunyai iktikad baik terhadap daerah Riau. Hal ini ditambah pula
dengan ditangkapnya Wakil Gubernur Dt. Wan Abdul Rachman yang difitnah
ikut dalam gerakan membentuk negara RPI (Republik Persatuan Indonesia),
fitnahan ini dilansir oleh PKI. Akibatnya Dt. Wan Abdurrachman
diberhentikan dari jabatannya dengan hak pensiun.
Kebangkitan
Angkatan 66 dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Riau bukanlah
suatu gerakan spontanitas tanpa sadar. Kebangkitan Angkatan 66 timbul
dari suatu embrio proses sejarah yang melanda Tanah Air. Konsep Nasakom
Orde Lama menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam segala aspek
kehidupan nasional. Lembaga-lembaga Negara tidak berfungsi sebagaimana
yang diatur dalam UUD 1945. Penetrasi proses Nasakomisasi ke dalam
masyarakat Pancasilais menimbulkan keretakan sosial dan menggoncangkan
sistem-sistem nilai yang menimbulkan situasi konflik. Di tambah lagi
adanya konfrontasi dengan Malaysia yang menyebabkan rakyat Riau sangat
menderita karena kehidupan perekonomian antara Riau dengan Malaysia
menjadi terputus.
Demikianlah penderitaan, konfrontasi dan
kemelut berlangsung terus dan suasana semakin panas di Riau. Menjelang
meletusnya G 30 S/PKI kegiatan tokoh-tokoh PKI di Riau makin meningkat.
Mereka dengan berani secara langsung menyerang lawan-lawan politiknya.
Tokoh-tokoh PKI Riau Alihami Cs mempergunakan kesempatan dalam berbagai
forum untuk menghantam lawan-lawannya dan menonjolkan diri sebagai pihak
yang revolusioner. Begitu juga masyarakat Tionghoa yang berkewargaan
negara RRT memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Malam
tanggal 30 September 1965 mereka yang tergabung dalam Baperki
bersama-sama dengan PKI Riau mengadakan konsolidasi dan Show of force
dalam memperingati Hari Angkatan Perang Republik Indonesia, jadi sehari
mendahului waktu peringatan yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya; PKI
beserta ormas-ormasnya memboikot sidang pleno lengkap Front Nasional
Riau yang langsung dipimpin oleh Gubernur Kaharuddin Nasution pada
tanggal 30 September 1965. Ternyata kegiatan dan pergerakan PKI beserta
ormas-ormasnya adalah untuk merebut pemerintahan yang syah. Kondisi ini
akhirnya bisa di akhiri, perjuangan generasi muda Riau tidak sia-sia,
rezim Orde Lama di Riau tamat sejarahnya dan Kolonel Arifin Achmad
diangkat sebagai care taker Gubernur/KDH Riau pada tanggal 16 Nopember
1966. Mulai saat itu tertancaplah tonggak kemenangan Orde Baru di Riau.
Dengan
diangkatnya Kolonel Arifin Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala
Daerah Provinsi Riau terhitung mulai tanggal 16 Oktober 1966 dengan
surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP/4/43-1506. pelantikannya
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Basuki rachmad dalam
suatu sidang pleno DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15 Nopember 1966.
Kemudian pada tanggal 16 Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau mengukuhkan
Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Riau dengan Surat Keputusan
Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri mengesyahkan pengangkatan
Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah Provinsi Riau untuk
masa jabatan 5 tahun, dengan Surat Keputusan No. UP/6/1/36-260,
tertanggal 24 Februari 1967. Surat Keputusan tersebut diperbaharui
dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor : 146/M/1969
tertanggal 17 Nopember 1969.
Share this article now on :
Posting Komentar